Pada Merah Batu Bata
Hanya kau dan aku, hanya aku dan kau. Dan lamat-lamat seperti dua manusia dengan satu jantung, satu hati. Mendengar banyak melodi, melukis langit dengan berbagai warna pelangi.
Sampai pada suatu masa, entah siapa yang kali pertama melihat sepotong batu bata warna merah itu. Terpojok pasrah dengan debu yang melebami tubuhnya. Entah, aku atau mungkin kau, selanjutnya mengambil dan menaruhnya di tengah kita berdua. Menepuk-nepuknya hingga aroma kering debu menyusupi paru-paru.
Kemudian, aku atau mungkin kau? Atau barangkali kita berdua, mengapit batu bata warna merah itu layaknya permata.
"Ini bukan batu bata merah biasa," kau mengatakannya dengan binar mata terang seperti biasanya.
"Mungkinkah seperti persahabatan kita?" Tanyaku ingin memastikan.
"Benar." Kau mengangguk mantap.
"Lalu, mari kita rawat batu bata ini. Sebagaimana kita merawat persahabatan kita." Imbuhmu lagi.
Itu bukan ide yang buruk. Kita sepakat . Mulai saat itu juga batu bata warna merah telah menjadi harta pusaka yang tak ternilai harganya. Seperti yang kau ujarkan, bahwa itu bukan batu bata biasa.
Batu bata itu entah bagaimana, esoknya bertambah jumlahnya, seperti juga usia persahabatan kita. Dan kau dulu atau mungkin aku, kemudian menyusunnya sedemikian rupa.
Suka cita menumpuknya melebihi tinggi tubuh kita.
Suka cita menumpuknya melebihi tinggi tubuh kita.
***
Komentar
Posting Komentar