Jaring Laba-Laba di Kepala Dzarwa (3)
"Mengapa kita harus menikah?"
Aku menelan ludah. Bibir Dzarwa meluncurkan pertanyaan absurd pertama. Dan aku sudah menjanjikan menemukan jawabannya bersama-sama.
"Takdir, mungkin." Jawabku asal.
"Argh..." Dzarwa memegang kepalanya. Tampaknya, jaring laba-laba yang -katanya, tumbuh di kepalanya itu mulai melebar memenuhi area kepala.
"Ini tidak lucu!" Tukasnya kesal.
Aku diam sejenak, memikirkan jawaban yang sekiranya masuk akal.
"Mungkin supaya spesies manusia di muka bumi ini tidak mengalami kepunaha n," suaraku melirih di ujungnya. Aku kira jawaban ini setidaknya membuat Dzarwa tidak terlalu saklek dengan tangan mencengkeram kepala.
Dzarwa membuang muka. Bunda menoleh ke arah kami sebentar dan melanjutkan kembali membaca koran.
"Kau tahu arti kata serius, Dzary?" Dzarwa memicingkan matanya. Setidaknya melihat bagaimana Dzarwa menekankan suara menyebut namaku tanpa embel-embel 'kak', ini bukan main-main!
Kuajak otak bekerja lebih keras lagi. Entah, tiba-tiba begitu saja melintas dalam bayangan jika pertanyaan-pertanyaan tentang pernikahan tidak bisa dijawab secara tepat, rambut di kepala Dzarwa akan berubah menjadi jaring laba-laba, dengan keluarga laba-laba yang hidup bahagia di atasnya. Bagaimana kalau itu nyata?
"Baiklah, Dzarwa.... Menikah itu sebuah pilihan hidup." Aku mengambil jeda sejenak, "Saat kau merasa perlu untuk melakukan sesuatu misalnya. Maka kau akan melakukannya bukan?"
"Apakah hanya sekedar pilihan? Pilihan mayoritas? Apa bukan sebuah perintah?" Dzarwa menyasar dengan pertanyaan selanjutnya.
"Kau mau memandang dari kacamata apapun juga, menikah itu tetap pilihan. Meski dalam agama kita menikah itu bagian dari sunah, bahkan bisa menjadi sunah yang kaidah hukumnya berubah."
Dahi Dzarwa berkerut. Kuhirup napas lebih dalam lagi.
"Gampangnya begini Dzarwa, ini berlaku untuk apa saja. Saat kau tau bahwa Hak Allah itu untuk di ta'ati hamba-hambaNya, namun dari sisi hamba yang tidak ta'at ataupun yang ta'at sejatinya mereka sudah memilih sebuah pilihankan?"
Dzarwa mengangguk-angguk pelan. Senyum tipis menggurat bibirnya. Aku sedikit lega.
"Tapi, Kak..." Dzarwa menahan tubuhku yang hendak beranjak.
"Apa lagi?" tanyaku dengan napas tertahan.
"Mengapa mayoritas orang memilih menikah. Padahal tidak setiap pernikahan bahagia. Tidak setiap pernikahan..." Dzarwa menatapku ragu-ragu.
"Dzarwa...," kupegangi kedua bahunya sembari membidik kedua matanya. Entah, bagaimana bisa pertanyaan-pertanyaan itu seperti tak ada habisnya. Satu pertanyaan membelah diri menjadi dua kali lipatnya, dan seperti hinggap dalam tiap helai neuron Dzarwa, yang hanya seorang gadis lugu kelas 7.
Kuajak otak bekerja lebih keras lagi. Entah, tiba-tiba begitu saja melintas dalam bayangan jika pertanyaan-pertanyaan tentang pernikahan tidak bisa dijawab secara tepat, rambut di kepala Dzarwa akan berubah menjadi jaring laba-laba, dengan keluarga laba-laba yang hidup bahagia di atasnya. Bagaimana kalau itu nyata?
"Baiklah, Dzarwa.... Menikah itu sebuah pilihan hidup." Aku mengambil jeda sejenak, "Saat kau merasa perlu untuk melakukan sesuatu misalnya. Maka kau akan melakukannya bukan?"
"Apakah hanya sekedar pilihan? Pilihan mayoritas? Apa bukan sebuah perintah?" Dzarwa menyasar dengan pertanyaan selanjutnya.
"Kau mau memandang dari kacamata apapun juga, menikah itu tetap pilihan. Meski dalam agama kita menikah itu bagian dari sunah, bahkan bisa menjadi sunah yang kaidah hukumnya berubah."
Dahi Dzarwa berkerut. Kuhirup napas lebih dalam lagi.
"Gampangnya begini Dzarwa, ini berlaku untuk apa saja. Saat kau tau bahwa Hak Allah itu untuk di ta'ati hamba-hambaNya, namun dari sisi hamba yang tidak ta'at ataupun yang ta'at sejatinya mereka sudah memilih sebuah pilihankan?"
Dzarwa mengangguk-angguk pelan. Senyum tipis menggurat bibirnya. Aku sedikit lega.
"Tapi, Kak..." Dzarwa menahan tubuhku yang hendak beranjak.
"Apa lagi?" tanyaku dengan napas tertahan.
"Mengapa mayoritas orang memilih menikah. Padahal tidak setiap pernikahan bahagia. Tidak setiap pernikahan..." Dzarwa menatapku ragu-ragu.
"Dzarwa...," kupegangi kedua bahunya sembari membidik kedua matanya. Entah, bagaimana bisa pertanyaan-pertanyaan itu seperti tak ada habisnya. Satu pertanyaan membelah diri menjadi dua kali lipatnya, dan seperti hinggap dalam tiap helai neuron Dzarwa, yang hanya seorang gadis lugu kelas 7.
Komentar
Posting Komentar