Jaring Laba-Laba di Kepala Dzarwa (4)
Aku tak mengerti, mengapa secara tiba-tiba pikiranku memproduksi begitu banyak pertanyaan. Sialnya pertanyaan itu mengikat satu-satu urat kepalaku. Mungkin jika tak mengalami sendiri, orang tak akan percaya. Bahwa jika tak kau selesikan pertanyaan itu dengan tepat, ikatan itu semakin kuat. Lantas beberapa kaki berbulu merayap-rayap, sesekali menggerus kulit kepala dan terkulailah lapisan luarnya.
Perih. Panas, meradang.
Perih. Panas, meradang.
Dzary, dia satu-satunya orang yang mempercayaiku, -meski awalnya mungkin terpaksa. Dia, -paling tidak pikirannya yang cemerlang bisa membantuku menuntaskan pertanyaan-pertanyaan 'sialan' itu.
Kurasakan hembusan hangat nafasnya saat kedua tangannya memegang bahuku.
"Bisakah kita beri makan cacing-cacing ini dahulu, Dzarwa?"
Awalnya aku ingin menolaknya, tapi tak tega melihat bibir kering Dzary, dan suara cacing dari perutnya. Akhirnya ku-iya-kan permintaannya.
Sepuluh menit berlalu. Dzary belum selesai juga. Rasanya seperti menunggu pengumuman kelulusan saja saat melihat Dzary menyuapkan sendok terakhir makanannya.
"Kau, kenapa menatapku seperti itu?"
Aku menggeleng.
"Lekaslah!"
Dzary tak menggubrisku, diteguknya air dingin lamban-lamban.
"Ini segar sekali, kau tak mau mencoba?" Dzary menyodorkan gelasnya padaku. Aku menggeleng.
"Barangkali, laba-laba yang katanya bertengger di kepalamu itu haus, Dzarwa? Kau tak kasihan apa?"
Aku mendengus kesal, Dzary terkekeh.
"Aku tau jawaban pertanyaanmu itu, Dzarwa." Suara Dzary memelan.
"Tapi kau harus janji, usai pertanyaan ini tak ada pertanyaan lain," imbuhnya lagi.
Aku mengerutkan dahi. Dzary, tidak mengerti, pertanyaan itu tumbuh begitu saja tak terkendali.
"Setidaknya, cukup untuk hari ini," ujar Dzary sembari membenahi posisi duduknya.
Aku mengangguk ragu. Takut bila ada pertanyaan lain menyusul di belakangnya nanti.
Namun bagaimana lagi?
"Menikah memang tidak serta merta membuat orang bahagia, Dzarwa," jawab Dzary ke inti permasalahan.
"Akan tetapi bukan berarti orang yang menikah hidupnya akan merana. Jelas tidak seperti itu." Dzary menatapku tajam.
"Bahagia atau tidak sejatinya berkaitan dengan bagaimana seseorang mengolah rasa-nya."
Dzary mengalihkan pandangannya.
"Ini tergantung pribadinya. Bukan tergantung dari sebatas yang kau lihat saja, Dzarwa." Dzary kembali menatapku.
"Lalu, kenapa orang memutuskan menikah?" Ulangku, untuk mendapat jawaban yang lebih mudah kucerna.
"Jawaban ini masih ada kaitannya dengan jawaban pertanyaan pertama. Dzarwa, mungkinkah orang yang tidak menikah hidupnya lebih (banyak) bahagianya?"
"Bisa jadi..." jawabku pelan.
"Darimana kau tau?" Dzary balik tanya.
-aku tak tahu, Dzary....
"Bahagia, mungkin sederhananya begini, jika kau disuruh memilih, antara kau yang bisa melihat alam jagat raya, memiliki segalanya tapi hidup sebatang kara atau kau yang hidup seperti ini dan memiliki keluarga, kau akan memilih mana?"
"Jelas memiliki keluarga lah..." aku sedikit sewot.
"Bagus, tapi sebenarnya kaupun bisa bahagia saat hidup pada pilihan pertama." Dzary tersenyum penuh arti.
"Karena, ingin kutegaskan sekali lagi padamu, Dzarwa. Bahagia itu soal bagaimana kita mengolah rasa. Semenderita apapun hidup seseorang dalam penglihatan orang lain, masih bisa bahagia asal dia tetap mensyukuri hidupnya." Dzary diam sejenak, kemudian melanjutkan,
"Namun seenak apapun hidup seseorang dalam penglihatan orang lain, jika dia masih merasa paling menderita, mungkinkah bahagia akan hadir dalam jiwanya?" Ujar Dzary dengan nada lembut seperti biasa.
"Jadi Dzarwa, menikah itu pilihan, dan setiap pilihan selalu memberikan alternatif pilihan lain bagaimana kita ingin mengolah rasa." Dzary mengakhiri.
Aku terbengong, berusaha mencerna kata-kata Dzary. Mengolah berkali-kali bahasanya, supaya tak muncul pertanyaan selanjutnya.
Tapi...
Komentar
Posting Komentar