Jaring Laba-Laba di Kepala Dzarwa (8)


Tanpa sengaja, beberapa hari yang lalu, aku mendengar pembicaraan istriku dengan kedua putriku. Topik yang mereka bicarakan membuat dadaku bergetar hebat. Rasanya seperti tubuhku dikuliti dan dipertontonkan pada khalayak. 

Aku percaya sepenuhnya, istriku tak akan mengajari anak-anaknya membenci. Lalu, percakapan mereka memiliki maksud apa? Pikiranku tak henti mengira-ngira.

Tak ada pilihan lain kecuali menunggu Dzarwa datang sendiri padaku. Tapi, apa mungkin? Belum hilang keraguanku, tubuh kurus Dzarwa menyelinap ke ruang kerjaku. Sebenarnya ini tak layak disebut ruang kerja, hanya sebuah ruang kosong yang kuubah bentuknya, dan kujadikan tempat menenangkan pikiran.

"Emm, Yah, bolehkah Dzarwa bertanya sesuatu?"

"Sejak kapan orang bertanya dilarang, Dzarwa?" Aku tersenyum sambil mengoyak rambutnya. Dzarwa meringis, sembari menjauhkan kepalanya, -barangkali dia menghawatirkan bila laba-laba yang katanya bertengger di kepalanya itu buas, dan menggigitku. 

"Ayah, janji tidak akan marah, bila mungkin pertanyaan Dzarwa salah?" Dzarwa tampak hati-hati bicara.

"Emmm..." Aku mencoba mngikuti ritme kehati-hatian Dzarwa. "Bisa saja, selama Ayah merasa tidak patut marah, haha..." Wajah Dzarwa yang semula menegang berubah tenang.

"Dzarwa sudah bertanya banyak hal, pada Kak Dzary dan Bunda. Tapi kepala Dzarwa serasa semakin lebat ditumbuhi jaring laba-laba, Yah." Dzarwa menghirup napas dalam-dalam.

"Pertanyaan terhenti di perseligkuhan, Yah." Dzarwa diam, seperti mampu mengeja keterkejutanku.

"Perselingkuhan? Apakah ini PR mengarang Bahasa Indonesia, Dzarwa?" Kelakarku berusaha mencairkan suasana.

"Ayah laki-laki, mungkin Ayah mengetahui banyak tentang apa yang dirasakan laki-laki. Bagaimana perasaan laki-laki saat melakukan perselingkuhan, Ayah?"
"Waw... itu pertanyaan yang sulit sekali Ayah jawab, Dzarwa. Em... apakah Ayah harus mengumpakan pada posisi itu dulu?" Aku diam-diam menekan intonasi keterkejutanku supaya tidak terbaca Dzarwa. 

"Jika bisa mengumpamakan, apakah Ayah mengetahui bagaimana rasanya?" Tanya Dzarwa semakin menohokku.

"Orang akan lebih tahu, ketika dia pernah merasakan, Dzarwa. Jika dia hanya tahu, tanpa merasakan, mungkin saja dia sedang mengira-ngira. Dan perkiraan tidak selamanya tepat'kan?"

Dzarwa menggaruk-nggaruk kepalanya.

"Apakah, laki-laki juga merasa bersalah saat meyakiti pasangannya, Ayah? Mungkinkah juga menyesal?" 
Dzarwa, sama sekali tak menyerah. Hanya menyamarkan pertanyaan dengan bahasa yang lebih terdengar sopan.

Aku menyulut batang rokok kedua. Dzarwa masih saja menatapku penuh harap. Aku tak tahu, jawaban apa yang harus kuberikan padanya. Apa aku terus terang saja?

"Apakah laki-laki juga merasa bersalah?" pertanyaan itu menggema berulang kali. Tentu saja merasa bersalah. Merasa bersalah, dan menyesal? pertanyaan kedua seperti bom atom yang menghancurkan kelaki-lakianku. Bukankah merasa bersalah belum tentu menyesal? Aku memang merasa bersalah, tapi apakah juga menyesal? Bagaimana mungkin bisa mengaku menyesal, saat pada saat yang bersamaan juga menikmati perbuatan. Tidak hanya menikmati tapi juga mengulang-ulang. Apa sebenarnya yang kurasakan?

Mungkinkah ini alasan kenapa para wanita mengatakan laki-laki adalah makhluk yang kejam terhadap perasaan. Tapi, kenapa ini menjadi salah laki-laki? Saat perselingkuhan tidak hanya murni kesalahan laki-laki.

Hadirnya kesempatan yang lebih banyak adalah wanita penggoda, bukankah ini bukan hanya salah laki-laki? Pikiranku mencari pembenaran. Tapi kenapa laki-laki tergoda saat dia juga memiliki wanitanya? telak hatiku membuatku mati kutu.

Mungkin karena tak cukup pertahanan diri. Atau, karena yang tidak wanitanya miliki ada pada wanita penggoda? Pikiranku memberi jawaban lain.

Hai, dari kapan wanita suka menggoda? Bukankah laki-laki yang hobi mengelabui wanita? Mengelabui dengan bujuk rayu dan puji? Hatiku tak mau kalah lagi.

Aku terdiam, cukup lama. Sampai tak sadar rokokku sudah dipangkalan, dan tersadar saat rasa panasnya berpindah ke bawah mata.  Dzarwa tak boleh menyaksikan ini. Aku memalingkan muka, berharap air mata tak jatuh di hadapannya.





 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mamak

Rasa dan Kematiannya

Pada Putaran Waktu