Jaring Laba-Laba di Kepala Dzarwa (9)
Jam dinding berbentuk separuh buah semangka baru saja berdentang empat kali saat Bunda masuk dengan penampan berisi dua buah gelas teh hangat. Bunda meletakannya di meja, kemudian berdiri di belakangku.
"Bagaimana, Dzarwa? Sudah kau temukan jalan keluar dari permasalahanmu?" Kedua tangan Bunda menepuk bahuku.
Aku menggeleng pelan. Ayah mengangkat wajahnya dan tampak gelegapan menyadari Bunda sudah ada di ruangannya.
"Ingatlah baik-baik Dzarwa, bahwa setiap pertanyaan yang berkelindan di pikiranmu jawabannya tidak harus saat itu juga. Bisa jadi baru beberapa tahun lagi. Santai saja, karena Tuhan tak pernah terlambat, Dia selalu memberimu pengajaran di waktu yang tepat." Bunda tersenyum, aku mematung. Seperti ada yang menohok begitu dalam. Entah apa, saat kulihat kristal bening itu meluncur beruntun dari sepasang mata teduhnya Ayah. Tubuhnya tergoncang kencang.
Kedua tangan Bunda bergetar. Wajahnya pucat pasi. Aku hanya terdiam, tak sanggup mengucap sepatah kata. Ruangan ini tiba-tiba beraura mistis. Ini kali pertamanya aku menjadi penyaksi. Ayah dan Bunda seperti dua orang asing yang tak saling mengenali.
Aku semakin tak mengerti. Hanya saja aku rasakan jaring laba-laba di kepalaku berlahan luruh.
***
Komentar
Posting Komentar